Selamat Tahun Baru, Kawan
Kawan, sudah tahun baru lagi
Belum
juga tibakah saatnya kita menunduk, memandang diri sendiri, bercermin
firman Tuhan sebelum kita dihisabnya?Kawan, siapakah kita ini
sebenarnya? Musliminkah? Mukminin? Muttaqin? Khalifah Allah? Umat
Muhammad-kah kita? Khaira ummatin kah kita? Atau kita sama saja dengan
makhluk lain? Atau bahkan lebih rendah lagi? Hanya budak-budak perut dan
kelamin.
Iman kita kepada Allah dan yang gaib rasanya lebih tipis dari uang kertas ribuan, lebih pipih dari kain rok perempuan.
Betapapun tersiksa, kita khusyuk di depan massa dan tiba-tiba buas dan binal justru di saat sendiri bersama-Nya.
Syahadat kita rasanya seperti perut bedug, atau pernyataan setia pegawai rendahan, kosong tak berdaya.
Shalat kita rasanya lebih buruk dari senam ibu-ibu, lebih cepat dari
pada menghirup kopi panas dan lebih ramai daripada lamunan seribu anak
muda.
Jumat, 11 Desember 2015
Rabu, 25 November 2015
Laki-laki Tanpa Celana
Oleh Joko Pinurbo
Di sebuah gang kecil dan lengang saya berpapasan dengan seorang perempuan muda, wajahnya milik trauma. Kepalanya tertunduk, matanya sembab. Saya urung menyapanya dengan selamat pagi karena ia tampak cuek sekali. Ia biarkan serbuk hujan bertaburan di atas rambutnya yang agak acak-acakan. Seakan-akan ia ingin bilang, ”Selamat tinggal, kecantikan.”
Saya terkesima. Rasanya saya pernah melihatnya entah di mana. Sebelum saya sempat mengingatnya, tubuhnya lebih dulu lenyap ditelan tikungan. Dari jauh samar-samar saya mendengar ia menyanyikan puisi Sapardi Djoko Damono, ”Hujan Bulan Juni”: tak ada yang lebih tabah /dari hujan bulan juni /dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu…
Di sebuah gang kecil dan lengang saya berpapasan dengan seorang perempuan muda, wajahnya milik trauma. Kepalanya tertunduk, matanya sembab. Saya urung menyapanya dengan selamat pagi karena ia tampak cuek sekali. Ia biarkan serbuk hujan bertaburan di atas rambutnya yang agak acak-acakan. Seakan-akan ia ingin bilang, ”Selamat tinggal, kecantikan.”
Saya terkesima. Rasanya saya pernah melihatnya entah di mana. Sebelum saya sempat mengingatnya, tubuhnya lebih dulu lenyap ditelan tikungan. Dari jauh samar-samar saya mendengar ia menyanyikan puisi Sapardi Djoko Damono, ”Hujan Bulan Juni”: tak ada yang lebih tabah /dari hujan bulan juni /dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu…
Jumat, 20 November 2015
Ibu yang Anaknya Diculik Itu
Oleh: Seno Gumira Ajidarma
Ibu terkulai di kursi seperti orang mati. Pintu, jendela, televisi, telepon, perabotan, buku, cangkir teh, dan lain-lain masih seperti dulu—tetapi waktu telah berlalu sepuluh tahun. Tinggal Ibu kini di ruang keluarga itu, masih terkulai seperti sepuluh tahun yang lalu. Rambut, wajah, dan busananya bagai menunjuk keberadaan waktu.
Telepon berdering. Ibu tersentak bangun dan langsung menyambar telepon. Diangkatnya ke telinga. Ternyata yang berbunyi telepon genggam. Ketika disambarnya pula, deringnya sudah berhenti. Ibu bergumam.
”Hmmh. Ibu Saleha, ibunya Saras yang dulu jadi pacar Satria. Sekarang apapun yang terjadi dengan Saras dibicarakannya sama aku, seperti Saras itu punya dua ibu. Dulu almarhum Bapak suka sinis sama Ibu Saleha, karena seperti memberi tanda kalau Saras itu tentunya tidak bisa terus menerus menunggu Satria. ’Orang hilang diculik kok tidak mendapat simpati,’ kata Bapak. Kenyataannya selama sepuluh tahun Saras tidak pernah bisa pacaran sama siapapun. ’Saya selalu teringat Satria, Ibu, saya tidak bisa’,” katanya.
Ibu terkulai di kursi seperti orang mati. Pintu, jendela, televisi, telepon, perabotan, buku, cangkir teh, dan lain-lain masih seperti dulu—tetapi waktu telah berlalu sepuluh tahun. Tinggal Ibu kini di ruang keluarga itu, masih terkulai seperti sepuluh tahun yang lalu. Rambut, wajah, dan busananya bagai menunjuk keberadaan waktu.
Telepon berdering. Ibu tersentak bangun dan langsung menyambar telepon. Diangkatnya ke telinga. Ternyata yang berbunyi telepon genggam. Ketika disambarnya pula, deringnya sudah berhenti. Ibu bergumam.
”Hmmh. Ibu Saleha, ibunya Saras yang dulu jadi pacar Satria. Sekarang apapun yang terjadi dengan Saras dibicarakannya sama aku, seperti Saras itu punya dua ibu. Dulu almarhum Bapak suka sinis sama Ibu Saleha, karena seperti memberi tanda kalau Saras itu tentunya tidak bisa terus menerus menunggu Satria. ’Orang hilang diculik kok tidak mendapat simpati,’ kata Bapak. Kenyataannya selama sepuluh tahun Saras tidak pernah bisa pacaran sama siapapun. ’Saya selalu teringat Satria, Ibu, saya tidak bisa’,” katanya.
Kamis, 19 November 2015
Pelajaran Mengarang
Oleh: Seno Gumira Ajidarma
Pelajaran mengarang sudah dimulai.
Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pada pena kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kaca-matanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.
Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 Tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang keluar jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin kencang. Ingin rasanya ia lari keluar dari kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati menyuruhnya berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”, “Ibu”. Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci.
Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apapaun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi, Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.
Ketika berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran diatas kasur yang spreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
“Lewat belakang, anak jadah, jangan ganggu tamu Mama,” ujar sebuah suara dalam ingatannya, yang ingin selalu dilupakannya.
***
Pelajaran mengarang sudah dimulai.
Kalian punya waktu 60 menit”, ujar Ibu Guru Tati.Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama “Keluarga Kami yang Berbahagia”. Judul kedua “Liburan ke Rumah Nenek”. Judul ketiga “Ibu”.
Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pada pena kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kaca-matanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.
Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 Tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang keluar jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin kencang. Ingin rasanya ia lari keluar dari kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati menyuruhnya berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”, “Ibu”. Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci.
Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apapaun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi, Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.
Ketika berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran diatas kasur yang spreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
“Lewat belakang, anak jadah, jangan ganggu tamu Mama,” ujar sebuah suara dalam ingatannya, yang ingin selalu dilupakannya.
***
Rabu, 18 November 2015
JALAN ASU
Oleh Joko Pinurbo
Hari ini adalah Hari Rindu. Hari untuk pulang. Hari untuk bertemu.
Setelah mandi dan menunaikan ibadah puisi, saya bersiap pergi mengunjungi Ayah di atas bukit. Sudah lama saya tidak pulang ke Ayah.
Makam Ayah berada di salah satu sudut pekuburan yang bersih dan nyaman, ditandai dengan seonggok batu kali yang cukup besar. Pada batu itu tertera tulisan ”Sugeng Rawuh” yang artinya tentu saja ”Selamat Datang”.
Ayah sendiri yang menginginkan batu kali sebagai nisannya. Keinginan itu muncul setelah Ayah membaca puisi berjudul ”Surat Batu” di koran. Puisi itu digubah oleh seorang pemain kata yang pada suatu malam penuh hujan secara tak terduga datang bertandang ke Ayah.
Hari ini adalah Hari Rindu. Hari untuk pulang. Hari untuk bertemu.
Setelah mandi dan menunaikan ibadah puisi, saya bersiap pergi mengunjungi Ayah di atas bukit. Sudah lama saya tidak pulang ke Ayah.
Makam Ayah berada di salah satu sudut pekuburan yang bersih dan nyaman, ditandai dengan seonggok batu kali yang cukup besar. Pada batu itu tertera tulisan ”Sugeng Rawuh” yang artinya tentu saja ”Selamat Datang”.
Ayah sendiri yang menginginkan batu kali sebagai nisannya. Keinginan itu muncul setelah Ayah membaca puisi berjudul ”Surat Batu” di koran. Puisi itu digubah oleh seorang pemain kata yang pada suatu malam penuh hujan secara tak terduga datang bertandang ke Ayah.
SEBOTOL HUJAN UNTUK SAPARDI
Oleh Joko Pinurbo
Saya jatuh cinta pada puisi gara-gara pada suatu malam, sebelum tidur, membaca seuntai kata dalam sebuah sajak Sapardi Djoko Damono: "masih terdengar sampai di sini dukaMu abadi". Waktu itu saya masih duduk di kelas 2 SMA dan belum punya cita-cita.
Kata-kata itu terus menggema dalam kepala saya dan membuat saya semakin suka bersendiri bersama puisi. Sempat terbetik keinginan untuk ikut-ikutan menjadi penyair, tapi menurut sahabat dekat saya, kepala saya kurang abnormal untuk mendukung keinginan saya. "Lebih baik jadi teman penyair saja," ujarnya dan saya mengiyakannya.
Saya gemar mengoleksi buku puisi. Bila ada buku puisi yang hilang, saya akan mencarinya lagi di toko buku sampai ketemu. Pernah seorang teman meminjam buku puisi yang baru saya beli dan belum sempat saya buka. Diam-diam buku puisi itu ia berikan kepada pacarnya sebagai hadiah ulang tahun. Kepada banyak orang, teman saya itu sering mengungkapkan rasa bangganya karena berkat hadiah buku puisi darinyalah pacarnya tumbuh menjadi seorang pengusaha kata yang sukses dan kaya.
Jumat, 05 Juni 2015
MAKAN MALAM
Keringat
terus mengucur deras di tubuh Eross, meski berkali-kali ia usap dengan sapu
tangan kecilnya. Ruangan dengan
pendingin udara itu ternyata tak cukup untuk membuatnya tenang.
Sekali
lagi ia memeriksa. Menu makanan dan minuman spesial sudah siap, cincin yang
dipesan khusus untuk gadis pujaannya juga siap. Nah, hanya ini yang masih
kacau. Beberapa kata puitis yang ia rancang dari beberapa hari lalu, belum jua
ia hafal.
Ekor
mata Eross melirik arloji di tangan kanannya.
Tiba-tiba
ada yang menepuk bahunya dari belakang.
“Eross,
sudah lama nunggu?”
“Mili,”
Eross tersenyum.
"Kenalkan,
ini tunanganku."
Kaget,
Eross menenggak segelas minuman beserta cincin di dalamnya.
--- Tamat ---
Catatan:
1. FlashFiction ini diikutkan dalam #FFKasihTakSampai di akun @RedCarra
HABIS WAKTU
“Euroworld adalah dunia baru bagimu. Kau harus melupakan bumi..“
Kalimat itu terus berdengung. Hilir mudik dari telinga
ke kepala ke hati, begitu terus. Kepala
Mili jadi berat, telinganya terus bergetar, dan hatinya berdebar lebih kencang
daripada saat pertama jatuh cinta.
“Mas, hari ini aku ga masuk kerja.”
“Kenapa, Mil?”
Mili meletakkan sepiring nasi goreng pedas di meja
makan. Tak lupa ia sajikan sebuah telor ceplok setengah matang dengan bagian
kuningnya yang meleleh, kesukaan Eross, suaminya.
“Ga enak badan, Mas.”
“Kuantar ke dokter dulu, ya.”
“Ga usah, Mas. Paling kecapekan saja. Kemarin banyak
laporan masuk ke mejaku.”
“Serius, ga usah ke dokter?”
“Iya, Mas. Nanti minum vitamin saja trus tidur.
Nanti kan sehat lagi.”
Eross mengecup kening dan perut buncit Mili.
“Sarapan dulu, Mas.”
Eross melahap habis nasi goreng spesial pagi ini.
“Aku berangkat dulu, Komandan!” Eross berdiri tegap
dalam balutan seragam kepolisian, memberi hormat pada Mili.
Mili tertawa, lalu membalas hormat, “siap,
laksanakan!”
Mili mengantar Eross sampai pintu depan.
-----
Rabu, 03 Juni 2015
SEPAKBOLA DAN HAL-HAL YANG TAK PERNAH TERKIRA
Sepuluh
tahun aku menanti pertandingan ini. Final kejuaraan antar klub satu benua, di
mana para pemain, pelatih, tim manajemen, dan para suporter menggantungkan
mimpi besarnya di sana: menjadi juara.
Peluit
dibunyikan, pertandingan dimulai. Sorak sorai penonton dan suporter menggema di
seantero stadion, membuatku makin gemetar saja.
Penyerang
andalan tim lawan yang terkenal jago gocek langsung tancap gas, ia meliuk
melewati gelandang bertahan, satu dua bek dilewati. Insting pejaga gawangku
berbicara, aku berlari berusaha menghadang dan mengganggunya.
Tapi,
suara Mili - anakku satu-satunya - menggelayut manja di telinga dan mematahkan
usahaku.
“Bapak,
tolong Mili…” Bola itu kubiarkan menggelinding ke dalam gawang.
--- Tamat ---
meja
masoka/3 juni 2015/09.30 WIB
100
Kata
Sabtu, 11 April 2015
MEMBACA SAJAK BUNG @SEMENJAK SAMBIL NGOPI
Siang ini saya membaca sekilas linimasa, dan mendapati ada intepretasi pada sajak-sajak bung @semenjak ( salah satu akun sajak yang saya suka selain akun saya sendiri.. :D ). Kebetulan sekali, saat ini saya sedang senang-senangnya membaca apa saja. Dan kali ini, boleh dong saya ikutan membaca salah satu sajaknya.
di dasar cangkir kopi ini:
apakah yang bebas
dari kesedihan?
barangkali kita,
yang tak memiliki
apa-apa. ~ @semenjak
Saya seolah sedang berbincang imajiner dengan bung @semenjak , saat sedang seru-serunya ngobrol tentang akun @sajak_cinta tentang @fiksimini tiba-tiba tenggorokan kami berteriak, "kopi, kopi, kopi.." tapi kami mendapati cangkir kami kosong. Tinggal ampas di dasar cangkir. Piye perasaaanmu?
Bung @semenjak berdiri, lalu menunjuk gelas kopi kami, sambil wajahnya mengarah ke saya,
"di dasar cangkir kopi ini:
apakah yang bebas
dari kesedihan?"
Yoi, kesedihan adalah suatu bentuk perasaan yang melekat dalam hati manusia sejak dalam kandungan. Dan kesedihan akan mudah sekali datang, saat segala sesuatu dibaca dan dimaknai dengan baper (bawa perasaan).
Kalau saya dan bung @semenjak woles saja dalam menghadapi situasi kopi kami habis, ya kesedihan ga akan punya pintu masuk, ga punya tangga untuk naik ke atas meja kami. Kami pasti akan tertawa begitu saja dan segera memesan kopi lagi, dan tentu saja dengan camilan biar ngobrol imajinernya tambah asik.
Saat semua menu yang kami pesan (lagi) habis, bung @semenjak berdiri kembali,
"apakah yang bebas
dari kesedihan?
barangkali kita,
yang tak memiliki
apa-apa."
Saya tersenyum. Begitulah perasaan, saat kita menempatkan diri pada ruang dimana kita tak memiliki apa-apa, menyadari bahwa kita memang tak punya apa-apa, maka kita akan terbebas dari kesedihan. Tapi apa bisa? Lha wong manusia itu senengnya meng-aku punya sesuatu kok. Coba saja ada orang ngomong ke kamu dan bilang, "dasar jomblo." Pasti dalam dadamu ada yang berdesir-desir.
Karena siang ini bung @semenjak ada acara, jadi setelah beberapa kopi dibayar, kami berjalan ke depan kedai kopi lelet khas rembang, lalu kami saling meninju lengan. Kami berpisah dan berjanji suatu waktu akan ngopi lagi.
Terima kasih bung @semenjak untuk sajak kopinya yang aduhai, saya suka sajak dan kopimu.
*tinju lengan*
di dasar cangkir kopi ini:
apakah yang bebas
dari kesedihan?
barangkali kita,
yang tak memiliki
apa-apa. ~ @semenjak
Saya seolah sedang berbincang imajiner dengan bung @semenjak , saat sedang seru-serunya ngobrol tentang akun @sajak_cinta tentang @fiksimini tiba-tiba tenggorokan kami berteriak, "kopi, kopi, kopi.." tapi kami mendapati cangkir kami kosong. Tinggal ampas di dasar cangkir. Piye perasaaanmu?
Bung @semenjak berdiri, lalu menunjuk gelas kopi kami, sambil wajahnya mengarah ke saya,
"di dasar cangkir kopi ini:
apakah yang bebas
dari kesedihan?"
Yoi, kesedihan adalah suatu bentuk perasaan yang melekat dalam hati manusia sejak dalam kandungan. Dan kesedihan akan mudah sekali datang, saat segala sesuatu dibaca dan dimaknai dengan baper (bawa perasaan).
Kalau saya dan bung @semenjak woles saja dalam menghadapi situasi kopi kami habis, ya kesedihan ga akan punya pintu masuk, ga punya tangga untuk naik ke atas meja kami. Kami pasti akan tertawa begitu saja dan segera memesan kopi lagi, dan tentu saja dengan camilan biar ngobrol imajinernya tambah asik.
Saat semua menu yang kami pesan (lagi) habis, bung @semenjak berdiri kembali,
"apakah yang bebas
dari kesedihan?
barangkali kita,
yang tak memiliki
apa-apa."
Saya tersenyum. Begitulah perasaan, saat kita menempatkan diri pada ruang dimana kita tak memiliki apa-apa, menyadari bahwa kita memang tak punya apa-apa, maka kita akan terbebas dari kesedihan. Tapi apa bisa? Lha wong manusia itu senengnya meng-aku punya sesuatu kok. Coba saja ada orang ngomong ke kamu dan bilang, "dasar jomblo." Pasti dalam dadamu ada yang berdesir-desir.
Karena siang ini bung @semenjak ada acara, jadi setelah beberapa kopi dibayar, kami berjalan ke depan kedai kopi lelet khas rembang, lalu kami saling meninju lengan. Kami berpisah dan berjanji suatu waktu akan ngopi lagi.
Terima kasih bung @semenjak untuk sajak kopinya yang aduhai, saya suka sajak dan kopimu.
*tinju lengan*
Rabu, 08 April 2015
TULAH
Brak. Ada yang
membuka pintu dengan keras.
Arthur
mengerjapkan kedua matanya. Terik sinar
matahari dan derap langkah kaki mendekatinya.
“Ayo
bangun, tidur mulu!”
“Kalau
mau makan, ya kerja!”
Langkah
kaki itu menjauh, lalu mengganjal pintu agar tetap terbuka.
Tapi
sinar matahari masih nyaman, menyetubuhi Arthur.
Arthur
hanya diam, ia masih berusaha mengumpulkan kesadaran.
Saat
hendak mengucek mata, Arthur terperanjat.
“Tanganku?”
“Jemariku?”
Di
luar, terdengar percakapan,
“Le,
lho ayo sapinya dikeluarkan, gerobak sudah siap.”
“Iya,
Mak. Sebentar ya.”
“Sapi?”
Arthur
menyapukan pandangan ke semua bagian tubuhnya. Dadanya bergetar hebat.
“Ya
Tuhan. Ternyata nasehat Ibu benar. Semalam usai makan aku langsung tidur…”
---tamat---
meja
masoka/8 april 2015/ 13.00 wib
100
kata
Langganan:
Postingan (Atom)