Rabu, 25 November 2015

Laki-laki Tanpa Celana

Oleh Joko Pinurbo


Di sebuah gang kecil dan lengang saya berpapasan dengan seorang perempuan muda, wajahnya milik trauma. Kepalanya tertunduk, matanya sembab. Saya urung menyapanya dengan selamat pagi karena ia tampak cuek sekali. Ia biarkan serbuk hujan bertaburan di atas rambutnya yang agak acak-acakan. Seakan-akan ia ingin bilang, ”Selamat tinggal, kecantikan.”

Saya terkesima. Rasanya saya pernah melihatnya entah di mana. Sebelum saya sempat mengingatnya, tubuhnya lebih dulu lenyap ditelan tikungan. Dari jauh samar-samar saya mendengar ia menyanyikan puisi Sapardi Djoko Damono, ”Hujan Bulan Juni”: tak ada yang lebih tabah /dari hujan bulan juni /dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu…

Jumat, 20 November 2015

Ibu yang Anaknya Diculik Itu

 Oleh: Seno Gumira Ajidarma


Ibu terkulai di kursi seperti orang mati. Pintu, jendela, televisi, telepon, perabotan, buku, cangkir teh, dan lain-lain masih seperti dulu—tetapi waktu telah berlalu sepuluh tahun. Tinggal Ibu kini di ruang keluarga itu, masih terkulai seperti sepuluh tahun yang lalu. Rambut, wajah, dan busananya bagai menunjuk keberadaan waktu.

Telepon berdering. Ibu tersentak bangun dan langsung menyambar telepon. Diangkatnya ke telinga. Ternyata yang berbunyi telepon genggam. Ketika disambarnya pula, deringnya sudah berhenti. Ibu bergumam.

”Hmmh. Ibu Saleha, ibunya Saras yang dulu jadi pacar Satria. Sekarang apapun yang terjadi dengan Saras dibicarakannya sama aku, seperti Saras itu punya dua ibu. Dulu almarhum Bapak suka sinis sama Ibu Saleha, karena seperti memberi tanda kalau Saras itu tentunya tidak bisa terus menerus menunggu Satria. ’Orang hilang diculik kok tidak mendapat simpati,’ kata Bapak. Kenyataannya selama sepuluh tahun Saras tidak pernah bisa pacaran sama siapapun. ’Saya selalu teringat Satria, Ibu, saya tidak bisa’,” katanya.

Kamis, 19 November 2015

Pelajaran Mengarang

 Oleh: Seno Gumira Ajidarma


Pelajaran mengarang sudah dimulai.
Kalian punya waktu 60 menit”, ujar Ibu Guru Tati.
Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama “Keluarga Kami yang Berbahagia”. Judul kedua “Liburan ke Rumah Nenek”. Judul ketiga “Ibu”.

Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pada pena kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kaca-matanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.

Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 Tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang keluar jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin kencang. Ingin rasanya ia lari keluar dari kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati menyuruhnya berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”, “Ibu”.  Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci.

Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apapaun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi, Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.

Ketika berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran diatas kasur yang spreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
“Lewat belakang, anak jadah, jangan ganggu tamu Mama,” ujar sebuah suara  dalam ingatannya, yang ingin selalu dilupakannya.

***

Rabu, 18 November 2015

JALAN ASU

Oleh Joko Pinurbo





Hari ini adalah Hari Rindu. Hari untuk pulang. Hari untuk bertemu.

Setelah mandi dan menunaikan ibadah puisi, saya bersiap pergi mengunjungi Ayah di atas bukit. Sudah lama saya tidak pulang ke Ayah.
Makam Ayah berada di salah satu sudut pekuburan yang bersih dan nyaman, ditandai dengan seonggok batu kali yang cukup besar. Pada batu itu tertera tulisan ”Sugeng Rawuh” yang artinya tentu saja ”Selamat Datang”.

Ayah sendiri yang menginginkan batu kali sebagai nisannya. Keinginan itu muncul setelah Ayah membaca puisi berjudul ”Surat Batu” di koran. Puisi itu digubah oleh seorang pemain kata yang pada suatu malam penuh hujan secara tak terduga datang bertandang ke Ayah.

SEBOTOL HUJAN UNTUK SAPARDI


Oleh Joko Pinurbo





Saya jatuh cinta pada puisi gara-gara pada suatu malam, sebelum tidur, membaca seuntai kata dalam sebuah sajak Sapardi Djoko Damono: "masih terdengar sampai di sini dukaMu abadi". Waktu itu saya masih duduk di kelas 2 SMA dan belum punya cita-cita.
Kata-kata itu terus menggema dalam kepala saya dan membuat saya semakin suka bersendiri bersama puisi. Sempat terbetik keinginan untuk ikut-ikutan menjadi penyair, tapi menurut sahabat dekat saya, kepala saya kurang abnormal untuk mendukung keinginan saya. "Lebih baik jadi teman penyair saja," ujarnya dan saya mengiyakannya.

Saya gemar mengoleksi buku puisi. Bila ada buku puisi yang hilang, saya akan mencarinya lagi di toko buku sampai ketemu. Pernah seorang teman meminjam buku puisi yang baru saya beli dan belum sempat saya buka. Diam-diam buku puisi itu ia berikan kepada pacarnya sebagai hadiah ulang tahun. Kepada banyak orang, teman saya itu sering mengungkapkan rasa bangganya karena berkat hadiah buku puisi darinyalah pacarnya tumbuh menjadi seorang pengusaha kata yang sukses dan kaya.