Rabu, 18 November 2015

JALAN ASU

Oleh Joko Pinurbo





Hari ini adalah Hari Rindu. Hari untuk pulang. Hari untuk bertemu.

Setelah mandi dan menunaikan ibadah puisi, saya bersiap pergi mengunjungi Ayah di atas bukit. Sudah lama saya tidak pulang ke Ayah.
Makam Ayah berada di salah satu sudut pekuburan yang bersih dan nyaman, ditandai dengan seonggok batu kali yang cukup besar. Pada batu itu tertera tulisan ”Sugeng Rawuh” yang artinya tentu saja ”Selamat Datang”.

Ayah sendiri yang menginginkan batu kali sebagai nisannya. Keinginan itu muncul setelah Ayah membaca puisi berjudul ”Surat Batu” di koran. Puisi itu digubah oleh seorang pemain kata yang pada suatu malam penuh hujan secara tak terduga datang bertandang ke Ayah.


Maaf, baru sekarang aku membalas surat yang kamu kirim tujuh tahun yang lalu.
Waktu itu kamu memintaku merawat sebuah batu besar di halaman rumahmu sebelum nanti kamu pahat menjadi patung. Batu itu kamu ambil dari sungai di tengah hutan.

Aku suka duduk membaca dan melamun di atas batumu dan bisa merasakan denyutnya. Kadang mimpiku tertinggal di atas batumu dan mungkin terserap ke dalam rahimnya.

Hujan sangat mencintai batumu dan cinta hujan lebih besar dari cintamu. Aku senang melihat batumu megap-megap dicumbu hujanku.

Akhirnya batumu hamil. Dari rahim batumu lahir air mancur kecil yang menggemaskan. Air mancur itu sekarang sudah besar, sudah bisa berbincang-bincang dengan hujan.
Maaf, jangan ganggu air mancurku. Bahkan batumu mungkin sudah tidak mengenalmu.
Ayah jatuh cinta pada batu dalam puisi itu. Ayah yang waktu itu sedang kerasukan puisi sempat berpesan kepada saya agar di atas makamnya nanti ditanam sebuah batu. Batu yang dibesarkan di sungai. Sungai yang mengalir di bawah bukit.

Ketika kecil, ia sering diajak ayahnya bergadang di bawah pohon cemara di atas bukit. Berbekal senter, ayahnya senang sekali menggendongnya menyeberangi sungai yang jernih dan gemericik, menyusuri jalan setapak yang berkelok-kelok dan menanjak.

Sampai di puncak, mereka memandang takjub ke seberang, menikmati gemerlap cahaya lampu kota. Sesekali mereka berbaring di tanah, melihat bintang-bintang. Bila dingin malam kian menyengat, mereka membuat unggun api, berdiang menghangatkan badan, menghangatkan sepi.
Ia terpesona melihat kunang-kunang berpendaran.

”Kunang-kunang itu artinya apa, Yah?”
”Kunang-kunang itu artinya kenang-kenang.”

Ia terbengong, tidak sadar bahwa ayahnya sedang mengajarinya bermain kata.
Bila ia sudah terkantuk-kantuk, ayahnya segera mengajaknya pulang. Dan sebelum tiba di rumah, ia sudah terlelap di gendongan, terbungkus sarung ayahnya yang baunya sangat kenangan.
Ayahnya lalu menelentangkannya pelan-pelan di atas ranjang.

Sekian tahun kemudian, saat ia pamit untuk pergi merantau, ayahnya membekalinya dengan sarung kesayangannya sebagai kenang-kenang.

”Pakailah sarung ini saat kau sakit dan rasakanlah khasiatnya,” pesan ayahnya.
Ketika suatu hari ia pulang, ayahnya menyambut girang:
”Hai, bagaimana sarungku? Enak, kan?” Ia peluk ayahnya yang sudah ringkih dan sakit-sakitan.
”Aku ingin ke bukit. Aku rindu pohon cemara itu,” ayahnya berkata. ”Maukah kau mengantarku ke sana?”
Malam itu malam purnama. Ia menuntun ayahnya yang kurus dan ringkih menyusuri jalan setapak menuju pohon cemara di atas bukit.

Di bawah pohon cemara ayahnya duduk bersila, melantunkan sebait tembang Asmaradana:

Aja turu sore kaki
Ana dewa nganglang jagad
Nyangking bokor kencanane
Isine donga tetulak
Sandhang kalawan pangan
Yaiku bageyanipun
Wong melek sabar narima


Dalam perjalanan pulang tembang itu terus mengiang.
Ia tak tega melihat ayahnya berjalan goyah. Ingin sekali ia menggendongnya sampai rumah. Tapi ayahnya bilang, ”Di dalam tubuhku yang lemah terdapat jiwa yang kuat dan berat. Kau tak akan sanggup menggendongnya.”

Dulu saya sering menemani Ayah menulis. Ayah betah menulis hingga menjelang dini hari. Suara mesin ketiknya terdengar sampai kamar mandi. Hanya siaran pertandingan sepak bola di televisi yang bisa menghentikan keasyikan menulis Ayah.

Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul mesin ketiknya dan mengumpat, ”Asu!” Dengan geram Ayah mencabut kertas dari mesin ketik, meremasnya, dan melemparkannya ke tempat sampah.

Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran, Ayah tersenyum dan berseru, ”Asu!” Saat bertemu teman karibnya di jalan, Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar ”asu”. Syukurlah, Ayah tak pernah mengucapkan ”asu” kepada saya. Demikian pun saya tak pernah meng-”asu”-kan Ayah.

Pernah saya bertanya, ”Asu itu artinya apa, Yah?”
”Asu itu anjing yang baik hati,” jawab Ayah.
Kemudian ganti saya ditanya, ”Coba, menurut kamu, asu itu apa?”
”Asu itu anjing yang suka minum susu,” timpal saya.
Mendengar jawaban saya, Ayah langsung memeluk saya seraya berkata, ”Kamu sudah gila, anakku. Kembangkan bakat gilamu. Kamu akan menjadi penyair kesayangan langit dan bumi.”

Ayah sering mengajak saya ke kantor pos, mengirim tulisan ke koran atau majalah. Ayah suka gelisah menunggu-nunggu tulisannya terbit. Ketika tulisannya dikembalikan dan tak bisa dimuat, Ayah termenung murung sambil tak henti-hentinya merokok. Tanpa ampun Ayah membakar berkas-berkas tulisannya di tempat pembuangan sampah.

Sebaliknya, ketika tulisannya muncul di koran, Ayah seakan tak pernah kehabisan alasan untuk berbahagia. Hebatnya, Ayah tak pernah mau berbahagia sendirian. Ia mengajak saya makan enak di Warung Bu Ageng. Itu warung milik Om Butet, teman Ayah. Sebelum membuka usaha warung makan, Om Butet bekerja sebagai redaktur di sebuah koran lokal. Menurut Ayah, Om Butet sebenarnya tidak cocok menjadi redaktur karena beliau bukan jenis orang yang tahan mendekam di dalam ruangan.

Ayah saya seorang pengarang yang kaya. Dompetnya selalu penuh. Penuh dengan semoga. Apa boleh buat, kadang Ayah harus berjauhan dengan uang pada saat yang tidak tepat. Ayah pun menemui Om Butet di kantornya, menyerahkan tulisan dan minta honornya dibayar kontan di muka.
Yang menjengkelkan, Ayah suka menjadikan saya sebagai alasan. Mungkin karena wajah saya bernuansa memelas dan mudah menimbulkan rasa iba. Saya ingat bagaimana Ayah menyerahkan amplop berisi tulisan kepada Om Butet seraya meminta, ”Tolonglah, Bro. Sudah dua hari anakku kagak doyan makan, minta dibelikan celana yang sakunya enam.” Entah bagaimana ceritanya, tahu-tahu di saku baju Ayah sudah ada amplop yang isinya lumayan.

Saya curiga, jangan-jangan dari Om Butet-lah Ayah belajar mengucapkan ”asu” dengan fasih. Om Butet, kan, pemain teater juga; ia piawai meluncurkan kata ”asu” dengan berbagai nada. Di kemudian hari Om Butet dikenal sebagai seorang bintang film terkenal, selain pengusaha rumah makan yang sejahtera.

Pernah pada suatu sore, setelah seharian hanya terbengong-bengong di depan mesin ketik, Ayah membangunkan saya yang sedang tertidur di kamar: ”Ayo kita ke Warung Bu Ageng.” Saya bertanya-tanya dalam kepala. Saya tahu Ayah sedang tak punya uang. Kok berani-beraninya mau mentraktir saya.

Sekali itu saya tak bisa berkonsentrasi makan karena sibuk memikirkan bagaimana Ayah mau bayar. Ayah tenang-tenang saja, makannya lahap pula.

Ah, Ayah. Diam-diam ia sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Selesai makan, dengan cekatan Ayah menyusupkan sebuah amplop kecil ke saku baju Om Butet. Aneh, bayar makan saja pakai amplop, pikir saya. Om Butet segera mengambil amplop itu dari saku bajunya dan bersikeras mengembalikannya kepada Ayah sambil berkali-kali bilang ”gratis”. Ayah menolak dan minta agar Om Butet membuka amplop itu. Ternyata isinya secarik kertas bertuliskan sebuah syair yang entah kapan Ayah tulis:

Yen atimu kepenak
Manganmu yo enak
Yen atimu seneng
Ngombemu yo nyamleng


Om Butet tampak terharu bercampur senang membaca tulisan tangan Ayah. Keunikan garis tulisan Ayah setara dengan keunikan garis tangannya. Saya terharu melihat Om Butet terharu. Saya menyesal telah makan dengan sedih.

Sementara Om Butet terharu, Ayah menarik tangan saya, mengajak saya segera angkat kaki. Ayah dan saya cepat-cepat pergi dan seekor anjing menyoraki kami.
Kisah Ayah membayar makan dengan puisi merupakan penyegar sempurna bagi rindu saya kepada Ayah. Saya suka tertawa sendiri mengenang peristiwa yang getir-getir sedap itu. Belakangan saya lihat syair gubahan Ayah sudah terpigura dan terpasang di dinding rumah makan Om Butet.
Kini jalan ke bukit sudah lebih lapang dan nyaman. Dengan rindu yang sudah saya rapikan, saya berangkat menuju Ayah.

Di tengah perjalanan saya bertemu dengan seekor anjing besar yang tiba-tiba muncul dari tikungan. Sosok anjing itu sungguh menakutkan. Gawat. Menurut kabar yang saya dengar, sebulan terakhir ini sudah ada beberapa orang menjadi korban gigit anjing gila. Mereka diserang demam berkepanjangan, bahkan ada yang kesurupan.

Anjing itu menghadang saya persis di tengah jalan. Tatapan matanya yang liar dan nyalang membuat saya mundur beberapa jengkal. Saya deg-degan.

Saya mencoba menyapanya baik-baik: ”Selamat sore, njing.”
Ia malah tersinggung. Matanya tambah mendelik. Mungkin karena saya memanggil namanya tidak lengkap.
Saya ulangi salam saya: ”Selamat sore, anjing.”
Ia semakin marah. Menggeram. Mulutnya mangap, lidahnya terjulur. Saya gemetar. Saya memanggil Ayah dalam hati dan bertanya apa yang sebaiknya saya lakukan untuk menjinakkan anjing edan itu. Saya tidak mau sakit gila karena digigit anjing gila. Tanpa digigit anjing gila pun saya bisa gila sendiri.

Saya menyapanya lagi dengan manis, ”Selamat sore, asu.”
Ia terperanjat dan langsung mingkem. Sorot matanya berangsur normal.
Saya ucapkan sekali lagi salam saya dengan tegas dan mantap: ”Selamat sore, su!”
Ia merunduk, kemudian minggir dengan sopan, mempersilakan saya lanjut jalan.
Sementara saya melanjutkan perjalanan, dari belakang sana terdengar teriakan, ”Tolong, tolong! Anjing, anjing!”
Menjelang sampai di atas bukit, saya berpapasan dengan seorang lelaki tua berkacamata. Dialah Om Butet yang bintang film itu. Dia berjalan tergesa-gesa.
”Hai penyair, kamu sudah ditunggu-tunggu ayahmu,” Om Butet berseru.
Saya balik menyapa, ”Mengapa Om kelihatan terburu-buru?”
”Aku ditinggal asuku. Apakah tadi kamu bertemu dengan asuku?”
Saya terpana.
Demi cinta saya yang tak berkesudahan kepada Ayah, jalan menuju kuburannya saya beri nama Jalan Asu.


Yogyakarta, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar