Oleh: Seno Gumira Ajidarma
Ibu terkulai di kursi seperti orang mati. Pintu, jendela, televisi,
telepon, perabotan, buku, cangkir teh, dan lain-lain masih seperti
dulu—tetapi waktu telah berlalu sepuluh tahun. Tinggal Ibu kini di ruang
keluarga itu, masih terkulai seperti sepuluh tahun yang lalu. Rambut,
wajah, dan busananya bagai menunjuk keberadaan waktu.
Telepon berdering. Ibu tersentak bangun dan langsung menyambar
telepon. Diangkatnya ke telinga. Ternyata yang berbunyi telepon genggam.
Ketika disambarnya pula, deringnya sudah berhenti. Ibu bergumam.
”Hmmh. Ibu Saleha, ibunya Saras yang dulu jadi pacar Satria. Sekarang
apapun yang terjadi dengan Saras dibicarakannya sama aku, seperti Saras
itu punya dua ibu. Dulu almarhum Bapak suka sinis sama Ibu Saleha,
karena seperti memberi tanda kalau Saras itu tentunya tidak bisa terus
menerus menunggu Satria. ’Orang hilang diculik kok tidak mendapat
simpati,’ kata Bapak. Kenyataannya selama sepuluh tahun Saras tidak
pernah bisa pacaran sama siapapun. ’Saya selalu teringat Satria, Ibu,
saya tidak bisa’,” katanya.
”Tapi inilah soal yang pernah kubicarakan
sama Si Saras. ’Kuhargai cintamu yang besar kepada Satria, sehingga kamu
selalu terlibat urusan orang-orang hilang ini,’ kataku, ’tapi cinta
adalah soal kata hati, Saras, karena kalau terlalu banyak alasan dan
perhitungan dalam percintaan, nanti tidak ada tempat untuk hati lagi…’
Ah, Saras, memang rasanya ia seperti anakku juga. Semenjak Bapak
meninggal setahun yang lalu, rasanya semakin peduli dia kepada rumah
ini, membantu aku membereskan kamar Satria, seperti tahu betul rasa
kehilanganku setelah ditinggal Bapak…”
Ibu sudah sampai ke kursi tempatnya duduk tadi, dan duduk lagi di
situ. Ibu terdiam, melihat ke kursi tempat Bapak biasanya duduk. Lantas
melihat ke sekeliling.
”Bapak… Kursi itu, meja itu, lukisan itu, ruangan ini, ruang dan
waktu yang seperti ini, kok semuanya mengingatkan kembali kepada Bapak.
Seperti ini juga keadaannya, bahkan aku masih ingat juga pakai daster
ini ketika kami berbicara tentang hilangnya Satria. Waktu itu sudah
setahun Satria tidak kembali, dan kami masih seperti orang menunggu. Aku
waktu itu masih percaya Satria suatu hari akan kembali… Kenapa harus
tidak percaya, kalau memang tidak pernah kulihat sesuatu yang
membuktikan betapa Satria tidak akan kembali… Apa salahnya punya
harapan… Hidup begitu singkat, apa jadinya kalau harapan saja kita tidak
punya…
”Jadi dalam setahun itu harapanlah yang membuatku bertahan hidup.
Harapan bahwa pada suatu hari Satria pasti pulang kembali… Berharap dan
menunggu. Berharap dan menunggu. Berharap dan menunggu. Tapi Bapak
memaksa aku untuk percaya bahwa Satria sudah pergi. ’Satria sudah mati,’
katanya!”
Ia menggigit bibir, berusaha sangat amat keras untuk menahan tangis.
”Tidak! Aku tidak mau percaya itu! Meski dalam hatiku sudah terlalu
sering kuingkari diriku, bahwa kemungkinan besar Satria mestinya sudah
mati.”
Ibu memandang ke arah kursi Bapak.
”Pak, Bapak, kenapa kamu hancurkan semua harapanku? ’Kita harus
menerima kenyataan,’ katamu. Nanti dulu, Pak. Menerima? Menerima? Baik.
Aku terima Satria sudah mati sekarang. Tapi aku tidak terima kalau
Satria itu boleh diculik, dianiaya, dan akhirnya dibunuh.”
Perempuan dengan rambut kelabu itu tampak kuat kembali.
”Bapak sendiri yang bilang, ada teman Satria yang dibebaskan
bercerita: Sebelum dilepas tutup matanya dibuka. Di hadapannya,
orang-orang yang menculiknya itu menggelar foto-foto di atas meja.
Itulah foto-foto keluarga teman Satria yang diculik. Foto orangtuanya,
foto saudara-saudaranya. Lantas orang-orang itu berkata, ’Kami tahu
siapa saja keluarga Saudara.’
”Huh! Saudara! Mana mungkin manusia bersaudara dengan monyet-monyet!
Apalagi maksudnya kalau bukan mengancam kan? Bapak bilang teman Satria
ini juga bercerita, suatu hari salah seorang yang waktu itu mengancam
terlihat sedang memandangi dirinya waktu dia baru naik bis kota. Ini apa
maksudnya Pak? Supaya teman Satria itu tidak boleh bercerita tentang
perbuatan mereka? Teror kelas kambing maksudnya? Apakah ini semua boleh
kita terima begitu saja?”
Saat Ibu menghela nafas, ruangan itu bagaikan mendadak sunyi.
”Sudah sepuluh tahun. Satria sudah mati. Bapak sudah mati. Munir juga sudah mati.”
Dipandangnya kursi Bapak lagi. Sebuah kursi kayu dengan bantalan
jalinan rotan. Jalinan yang sudah lepas dan ujungnya menceruat di
sana-sini.
”Apa Bapak ketemu sama Satria di sana? Enak bener Bapak ya?
Meninggalkan aku sunyi sendiri di sini. Apa Bapak dan Satria
tertawa-tawa di atas sana melihat aku membereskan kamar Satria, menata
gelas dan piring, sekarang untuk kalian berdua, setiap waktu makan tiba,
padahal aku selalu makan sendirian saja. Memang aku tahu Bapak dan
Satria tidak ada lagi di muka bumi ini, tapi apa salahnya aku menganggap
kalian berdua ada di dalam hatiku? Apakah kalian berdua selalu
menertawakan aku dan menganggapku konyol kalau berpikiran seperti itu?”
Sejenak Ibu terdiam, hanya untuk menyambungnya dengan suara bergetar.
”Kadang-kadang aku bermimpi tentang kalian berdua, tetapi kalau
terbangun, aku masih juga terkenang-kenang kalian berdua, dengan begitu
nyata seolah-olah kalian tidak pernah mati. Impian, kenangan, kenyataan
sehari-hari tidak bisa kupisahkan lagi.
Jiwa terasa memberat, tapi tubuh serasa melayang-layang…”
Lantas nada ucapannya berubah sama sekali, seperti Ibu berada di dunia yang lain.
”…. jauh, jauh, ke langit, mengembara dalam kekelaman semesta,
bagaikan jiwa dan tubuh telah terpisah, meski setiap kali tersadar tubuh
yang melayang terjerembab, menyatu dengan jiwa terluka, luka sayatan
yang panjang dan dalam, seperti palung terpanjang dan terdalam, o
palung-palung luka setiap jiwa, palung tanpa dasar yang dalam
kekelamannya membara, membara dan menyala-nyala, berkobar menantikan
saat membakar dunia…”
Ibu mendadak berhenti bicara, berbisik tertahan, memegang kepalanya, menutupi wajahnya.
”Ah! Ya ampun! Jauhkan aku dari dendam!”
Namun ia segera melepaskan tangannya.
”Tapi…. bagaimana mungkin aku merasa perlu melupakan semuanya, jika
kemarahanku belum juga hilang atas perilaku kurangajar semacam itu.”
Nada bicaranya menjadi dingin.
”Menculik anak orang dan membunuhnya. Apakah setiap orang harus
kehilangan anggota keluarganya sendiri lebih dulu supaya bisa sama
marahnya seperti aku?”
Hanya Ibu sendiri di ruangan itu, tetapi Ibu bagaikan merasa banyak
orang menontonnya, meski semakin disadarinya betapa ia sungguh-sungguh
sendiri.
”Bapak… aku yakin dia ada di sana, karena kusaksikan bagaimana dia
dengan tenang meninggalkan dunia yang fana; tetapi aku tidak bisa
mendapatkan keyakinan yang sama jika teringat kepada Satria. Memang
akalku tidak bisa berpikir lain sekarang, bahwa Satria tentu sudah tidak
ada. Tetapi Ibu mana yang kehilangan anak tanpa kejelasan bisa tenang
dan bahagia hanya dengan akalnya, tanpa membawa-bawa perasaannya?
Bagaimana perasaanku bisa membuatku yakin, jika Satria pada suatu hari
memang hilang begitu saja? Ya, begitu saja… Bahkan orang mati saja masih
bisa kita lihat jenazahnya!”
Seperti masih ada yang disebutnya Bapak di kursi itu, tempat seolah-olah ada seseorang diajaknya bicara.
”Pak, Bapak, apakah Bapak melihat Satria di sana Pak? Apakah Bapak
ketemu Satria? Apa cerita dia kepada Bapak? Apakah sekarang Bapak sudah
tahu semuanya? Apakah Bapak sekarang sudah mendapat jawaban atas semua
pertanyaan-pertanyaan kita?”
Namun Ibu segera menoleh ke arah lain.
”Ah! Bapak! Dia sudah tahu semuanya! Tapi aku? Aku tentunya juga
harus mati lebih dulu kalau ingin tahu semuanya! Tapi aku masih hidup,
dan aku masih tidak tahu apa-apa. Hanya bertanya-tanya. Mencoba menjawab
sendiri. Lantas bertanya-tanya lagi. Dulu aku bisa bertanya jawab
dengan Bapak. Sekarang aku bertanya jawab sendiri….
”Tapi apa iya aku sendiri? Apa iya aku masih harus merasa sendiri
jika begitu banyak orang yang juga kehilangan? Waktu itu, ya waktu yang
seperti takpernah dan takperlu berlalu itu, bukankah ratusan ribu orang
juga hilang seketika?”
Terdengar dentang jam tua. Tidak jelas jam berapa, tetapi malam
bagaikan lebih malam dari malam. Ibu masih berbicara sendiri, dan hanya
didengarnya sendiri.
”Bapak, kadang aku seperti melihatnya di sana, di kursi itu, membaca
koran, menonton televisi, memberi komentar tentang situasi negeri.
Seperti masih selalu duduk di situ Bapak itu, pakai kaos oblong dan
sarung, menyeruput teh panas, makan pisang goreng yang disediakan Si
Mbok, lantas ngomong tentang dunia. Tapi Si Mbok juga sudah meninggal,
menyusul Bapak, menyusul teman-temannya pemain ludruk yang semuanya
terbantai dan mayat-mayatnya mengambang di Kali Madiun…
”Sebetulnya memang tidak pernah Bapak itu membicarakan Satria, malah
seperti lupa, sampai setahun lamanya, sebelum akhirnya mendadak keluar
semua ingatannya pada suatu malam entah karena apa.
”Sudah sepuluh tahun, banyak yang sudah berubah, banyak juga yang tidak pernah berubah.”
Di luar rumah, tukang bakmi tek-tek yang dulu-dulu juga, tukang bakmi
langganan Satria, lewat. Ibu tampak mengenali, tapi tidak memanggilnya.
”Bagiku Satria masih selalu ada. Tidak pernah ketemu lagi memang.
Tapi selalu ada. Memang lain sekali Satria dengan kakak-kakaknya.
Dua-duanya tidak mau pulang lagi dari luar negeri, datang menengok cuma
hari Lebaran. Yang sulung Si Bowo jadi pialang saham, satunya lagi Si
Yanti jadi kurator galeri lukisan, kata Bapak dua-duanya pekerjaan
ngibulin orang. ’Ya enggaklah kalau ngibul,’ kataku, ’apa semua orang
harus ikut aliran kebatinan seperti Bapak?’. Biasanya Bapak ya cuma
cengengesan. Dasar Bapak. Ada saja yang dia omongin itu.
”Aku sendiri rasanya juga sudah mulai pelupa sekarang. Susah rasanya
mengingat-ingat apapun. Belakangan sebelum meninggal Bapak juga mulai
pikun. Lupa ini-itu. Kacamata terpasang saja dicarinya ke mana-mana…”
Ibu tersenyum geli sendiri.
”Tapi ia tidak pernah lupa tentang Satria. Ia selalu bertanya,
’Seperti apa Satria kalau masih hidup sekarang?’, atau ’Sedang apa ya
Satria di sana?’, atau kadang-kadang keluar amarahnya: ’Para penculik
itu pengecut semuanya! Tidak punya nyali berterus terang! Bisanya
membunuh orang sipil tidak bersenjata, sembunyi-sembunyi pula!’
Wajah Ibu kini tampak sendu sekali. Bahkan tokek untuk sementara tidak berani berbunyi.
”Bapak, kenapa kamu tidak pernah muncul dalam mimpiku untuk bercerita
tentang Satria? Pasti Satria menceritakan semua hal yang tidak
diketahui selama ini, bagaimana dia diperlakukan, dan apa sebenarnya
yang telah terjadi.
”Kenapa kamu tidak sekali-sekali muncul Bapak. Muncul dong sekali-sekali Bapak. Duduk di kursi itu seperti biasanya.
”Memang kamu selalu muncul dalam kenanganku Pak, bahkan juga dalam
mimpi-mimpiku, tetapi kamu hanya muncul sebagai bayangan yang lewat.
Hanya lewat, tanpa senyum, seperti baru menyadari betapa kenyataan
begitu buruk.
”Duduklah di situ dan ceritakan semuanya tentang Satria.
”Ceritakanlah semua rahasia….”
Ibu masih berbicara, kini seperti kepada seseorang yang tidak kelihatan.
”Kursi itu tetap kosong. Seperti segalanya yang akan tetap tinggal
kosong. Apakah semua ini hanya akan menjadi rahasia yang tidak akan
pernah kita ketahui isinya?
”Rahasia sejarah. Rahasia kehidupan.
”Tapi ini bukan rahasia kehidupan yang agung itu.
”Ini suatu aib, suatu kejahatan, yang seandainya pun tidak akan pernah terbongkar….
Telepon genggam Ibu berdering. Ibu seperti tersadar dari mimpi. Ibu beranjak mengambil telepon genggam.
”Pasti ibunya Saras lagi,” gumamnya.
Tapi rupanya bukan.
”Eh, malah Si Saras.”
Ibu mengangkat telepon genggamnya di telinga.
”Ya, hallo… “
Setelah mendengarkan apa yang dikatakan Saras, telepon genggam itu
terloncat dari tangan Ibu yang terkejut, seolah tiba-tiba telepon
genggam itu menyetrum.
”Gila!” Ibu berujar kepada tokek di langit-langit yang tidak tahu menahu.
”Para pembunuh itu sekarang mau jadi presiden!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar