Senin, 18 Juli 2016

LELAKI IDAMAN



 “Vivi pasti suka!”

“Coba saja dulu, Paulo!” 

“Atau kamu masih suka cibiran teman-teman Vivi perihalmu, Kerempeng!”

Kata-kata temanku mengalir ke dalam otak, bercampur dengan cibiran-cibiran dari teman Vivi perihal fisikku. 

“Kerempeng!”

“Sial sekali gadis secantik Vivi kamu pacari, Paulo!”

Malam itu, kuputuskan untuk berubah. Sesuai saran teman-temanku. Demi Vivi. Aku akan berubah menjadi Paulo yang lebih baik. 

Diantar teman-temanku, aku mendatangi rumah seseorang yang kata temanku bisa mewujudkan keinginanku. Namanya Madam Milana. Setelah berbasa-basi beberapa menit, temanku langsung mengutarakan maksud kedatangan kami. Madam Milana tersenyum kecil. Tatapannya seperti menelanjagi tubuh keringku. Lalu, Ia menyodorkan buku –semacam menu. Akhirnya dengan dibantu temanku, aku sepakat memilih model nomer 66. Kata mereka, Vivi pasti suka. Aku iyakan saja, biar cepat. Aku sudah tak sabar untuk bertemu Vivi lagi. 

“Besok senja ke Pantai Acapulco, yuk. Kita ketemuan di sana, di tempat biasa. Ada kejutan untukmu, Sayang…” 

Kukirim pesan singkat pada Vivi, sesaat setelah kulihat perubahanku di cermin besar rumah Madam Milana. 

 “Semoga kau bahagia dengan perubahanmu ini, Paulo.” 

Madam Milana dan teman-temanku memberiku ucapan selamat.

Hari beranjak petang, kuparkir mobilku di ujung Almirante Cristobal Colon Street. Bergegas, aku menuju pantai. Kulihat Vivi sudah berdiri di tempat biasa, menatap ombak yang sudah tak sabar ingin memeluk pantai. 

Kupelankan langkah, berjinjit aku mendekatinya dari belakang. Kulingkarkan kedua tanganku di pinggang Vivi yang ramping, kulekat erat tubuhku ke tubuh Vivi. Pelan, aku berbisik ke telinga mungilnya. 

“Sore, Vivi sayang. Maaf menunggu, tapi sepertinya belum terlambat untuk menikmati indahnya senja seperti biasa.” 

Vivi mengangguk, “Tak apa, Sayang.” Vivi memejamkan mata, kepalanya menoleh ke kanan. Tangan kami berpegangan, merentang perlahan. Dalam sepersekian detik, bibir kami sudah bertemu. Beberapa kali, hidung kami beradu, tidak seperti biasa. Belum genap ciuman merayakan senja, Vivi membuka mata. Dan ia langsung mendorong tubuhku dengan tubuhnya. Hampir saja aku terjatuh. 

“Kamu siapa?” 

“Paulo..”

“Bukan! Suaramu memang seperti Paulo. Tapi, Paulo tidak sekekar tubuhmu. Hidungnya tak semancung hidungmu. Kamu bukan kekasihku!” 

“Vivi, aku Paulo kekasihmu. Aku jadi seperti ini, untuk membuatmu bahagia, tidak malu punya kekasih kerempeng, pesek, pendek. Percayalah. Untuk bukti, tanyakan padaku tentang apa saja yang bisa meyakinkanmu bahwa aku Paulo kekasihmu..”

“Tak perlu. Malu? Aku justru sangat bangga dengannya, dengan rasa cintanya yang tak dimiliki mantan kekasihku yang dulu. Dan itu, cukup bagiku.”

Geregetan, kupeluk saja Vivi. Ia meronta. Kueratkan pelukan, memaksa. Vivi kian berontak, ia injak kakiku. Pelukanku terlepas, ia menampar wajahku. 

“Pergi! Atau aku berteriak!” Vivi mengancam.

 “Vivi, percayalah. Aku Paulo, kekasihmu…” Vivi bergeming. 

Aku pamit. Mundur dari kehidupannya. Kulangkahkan kaki keluar pantai, menyusuri Almirante Cristobal Colon Street dengan membawa sebongkah kebodohan, penyesalan, dan kemarahan.
Senja luntur, perlahan ada yang menggeser-geser awan kelabu di atas sana. Aku berhenti di simpang Almirante Cristobal Colon Street. Aku teringat kata Madam Milana malam itu, bahwa aku tak bisa lagi menukar tubuh baruku dengan yang lama. Karena memang seperti itu ikrarnya. 

Mendung tersaput di langit. Mataku sama semata. Aku berdiri sembari bertanya-tanya, mana yang lebih dulu pecah jadi hujan di antara keduanya. Gerak tungkaiku semakin tak beraturan. Lagu Sabor a Mi yang dinyanyikan dengan sempurna oleh musisi jalan terdengar berbisik.

Aku tak sepatutnya memiliki perasaan semacam ini. Toh, semuanya telah jelas. Aku bukan lagi Paulo setelah terjebak dalam tubuh asing ini. Dan, ciuman tadi adalah keputusan ceroboh, kurang ajar, dan layak diganjar kemarahan. Tetapi, apakah ciuman hanya sekadar bibir lekat di bibir? Apakah Vivi tak merasakan getar jiwaku dalam ciuman itu?

Apakah Vivi benar-benar mencintaiku selama ini. Kalau iya, mengapa ia tak merasakan getar jiwaku saat ciuman tadi. Ah! Persetan dengan cinta. Kalau Vivi tidak menjadi kekasihku, yang lainpun tidak. Tidak akan! 

Aku berlari menuju mobil. Teringat, aku selalu menyimpan sepucuk pistol di dashboard.

--- Tamat --- 


FF ini sebenaranya saya tulis untuk mengikuti kontes sambung flash fiction di akun @fiksimini , tapi karena batas waktunya telah lewat jadinya ya didiskualifikasi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar